Sabtu, 24 Maret 2012

refleksi sebuah kehidupan

BINTANG
Pagiku masih sama, bening, dingin, dan masih membuatku merasa tenang. Namun ku yakin, dalam hitungan detik, semua akan segera berbalik.
“BINTANG…! Lu taruh di mana buku biologi gue????” Hhh…., lagi, keributan yang memecah semua ketenanganku.
“BRAKK….!!!!” “Bintang,! Kemaren lu naruh buku biologi gue di mana? Gue ada praktikum nih.”
“Bulan, lu nggak bisa mintanya baik-baik apa?” aku mencoba berkata selunak mungkin kepada adik kembarku yang selalu membanting pintu kamarku hanya untuk memecah ketenanganku.
“Udah deh, lu jangan banyak omong, buku biologi gue mana?”
“Udah di tas lu, kok!” aku tetap berusaha untuk berkata selunak mungkin.
“Ngomong dong, dari tadi. Gue kan nggak perlu capek, triak-triak!” Hhh,, Bulan, Bulan, entah kenapa dia begitu mudah marah.
“Bulan! Jangan lupa bekalnya!” aku sedikit berteriak untuk mengingatkan Bulan yang sedang melayang-melayang ke sana ke mari menyiapkan perlengkapan sekolahnya.
“Iye, iye, lu bawel banget, sih? Gue berangkat ya, Tang?’
“Iya, hati-hati ya, Lan!”
Yah, akhirnya ketenangan kembali merayapi pagiku. Aku kembali memutar kursi rodaku ke dalam. Dan aku memutuskan untuk mengunjungi Bi Inah di dapur.
“Bik, Bulan nggak lupa bawa bekalnya, kan?”
Aku bertanya kepada Bi Inah yang sedang membereskan meja makan.
“Nggak kok non. Oya non, Non Bintang mau sarapan di sini atau di taman belakang, non?”
“Di sini aja deh, Bik. Oya, Bibik udah sarapan?”
“Belum, Non. Tadi Bibik bangunnya telat.”
Bi Inah sedikit tersipu malu atas pengakuannya.
“Ya udah, Bik, temenin Bintang makan, ya?”
“Iya, Non.”
Bi Inah memang bukan orang asing bagiku. Bi Inah adalah pengganti mami yang terlalu sibuk bagiku. Entah kenapa, sejak papi meninggal, mami menjadi terlalu sibuk mengejar materi. Aku tahu, sebagian besar uang itu diperuntukkan bagiku. Untuk pengobatanku yang tiada habisnya. Ya, aku adalah Bintang Indrayani, seorang gadis 16 tahun yang menyimpan banyak virus di tubuhku. Virus yang secara perlahan tapi pasti membuatku harus bisa menyatu dengan kursi roda ini, dan memaksaku untuk menjaga kegiatanku. Apapun itu, satu hal yang tak boleh terjadi, aku tak diizinkan dan tak akan pernah diizinkan untuk kelelahan. Karena itu akan membuat tubuhku yang lemah menjadi semakin lemah. Karena itu, untuk mencegah satu kemungkinan buruk itu, semua orang yang ada di dekatku akan selalu memastikan bahawa aku baik-baik saja, dan mereka juga akan selalu mengingatkan satu hal yang paling ku benci dan mau tak mau harus selalu ku butuhkan. Obat!
Ku akui, mami memang selalu melimpahi aku dan bulan dengan materi, tapi jika aku boleh memilih, aku akan dengan sangat senang hati meminta kepada siapapun yang bisa memberiku kehidupan normal senormal-normalnya, dan menyerahkan semua kemewahan ini kepada siapapun itu, yang mampu membuatku menjadi gadis normal yang bisa belajar di sekolah, bukan hanya di rumah. Dan menghabiskan waktu dengan teman-teman.
“Non, Pak Oktaf tadi telepon, katanya hari ini nggak bisa ngajar non. Soalnya, istrinya masuk rumah sakit.” “O….. kalau gitu, nanti aku ikut jemput Bulan sama pak Argan aja ya, bik. Bosen di rumah, Bik” Tiba-tiba aku mendapat ide untuk sedikit mengubah keteraturan yang biasa ku jalani. Dan aku mencoba untuk sedikit merajuk kepada Bi Inah.
“Tapi ntar, Non ati-ati, ya. Jangan terlalu banyak kena angin, trus, Non nggak usah turun dari mobil ya, Non. Takutnya ntar non kenapa-napa.”
“Beres, Bik….”
Aku mengangkat tanganku dan meletakkan di pelipisku bagaikan seorang prajurit yang sedang memberi hormat kepada komandannya, yang langsung membuat muka Bi Inah bersemu merah.
++++
“Pak, Bulan masih lama ya, keluarnya?” aku mulai bosan duduk menunggu di depan sekolahnya Bulan.
“Biasanya jam segini udah keluar, Non. Coba ditelfonin aja, Non.”
Ah, betul juga kata Pak Argan.
“Nah, tu Non, Non Bulannya udah keluar.”
“Ya…. Baru juga mau ditelfon.” Aku sedikit merutuk.
“Siang Pak Argan. Eh, tumben lu ikut, Tang?”
Suara bulan yang menggelegar membuatku geleng-geleng kepala. Heran ya, udah siang gini masih ada orang yang sebegitu bersemangatnya.
“Capek di rumah terus. Pak Oktaf tadi nggak bisa datang. Udah, mendingan lu cepetan masuk. Kita jalan-jalan, yuk!”
“Yuk!!!” ajakanku langsung diangguki Bulan dengan penuh semangat.
“Tapi, Non. Non Bintang kan belum minum obat, kalau kita langsung jalan-jalan, ntar Non Bintang sakit.”
“lu belum minum obat, Tang?”
“Ogah ah, gue jijai liat obat mulu. Udah pak, nggak pa-pa, kita jalan aja. Bintang nggak bakalan kenapa-napa, kok.” Aku berusaha meyakinkan Pak Argan dan Bulan yang sedang menatapku.
“Lu yakin, Tang? Ntar kalo lu kenapa-napa, gue lagi, yang dimarahin mami. Lu kira enak apa, dimarahin mulu?”
“Udah deh, Lan, nggak usah kebanyakan protes. Soal mami, lu tenang aja, deh.” Aku tetap berusaha meyakinkan Bulan.
“Lu yakin?”
“Seratus persen!!! Udah ah, jalan yuk, pak, jalan pak!” aku menjawab mantap dan kembali mendesak.
“Okelah kalau begitu. Kita ke Game Center aja!”
Bulan dan aku akhirnya berhasil membuat Pak Argan memutar kemudi.
++++
“Yah,,,, penuh!!! Gimana ni, Tang? Padahal gue lagi ngebet banget nih, mau nyobain game baru.”
Entah mengapa, mendengar gerutuan Bulan membuat kepalaku menjadi sangat berat. Semuanya berputar.
“Lho, Non Bintang kok pucat?”
“Iya Tang, lu kok pucat?”
Sungguh, aku tak sanggup walau hanya sekedar menggeleng, untuk menjawab pertanyaan Bulan dan Pak Argan. Semuanya benar-benar berputar, dan tiba-tiba…… Semuanya Gelap!
“Bintang! Bintang! Lu denger gue, kan?”
“Pak! Putar ke rumah sakit, Pak!”
“I-iya, Non.”
“Bintang! Bintang! Lu denger gue kan?”
Sayup, aku mendengar Bulan yang panik dan semua kegelapanpun menjadi cahaya terang yang amat terang. Teramat terang bahkan, dan aku melayang, tinggi, tinggi sekali.
“Bintang!  Bintang………..!”
Suara Bulan mulai hilang dan aku melayang.
++++